DARI KITA UNTUK KITA

Enam Bekal Wajib Bagi penuntut Ilmu (Imam Syafii)

Teringat ketika belajar dan mengajar adek-adek dipesantren beberapa tahun yang lalu, salah satu kitab yang tidak asing di beberapa pesantren baik salaf maupun modern, dan buku itu juga pernah menjadi rujukan pribadi ketika nenyelesaikan tugas akhir buku itu berisiskan tentang pendidikan dan adab di lingkungan pondok ialah kitab  Ta’lim al-Muta’allim  karya Syekh Imam azzarnuji

Kitab tersebut berisi banyak nadzam (syair dan doa) tentang bagaimana seseorang dapat menuntut ilmu dengan diiringi adab. Salah satu bunyi petikan nadzam kitab tersebut yakni: 

  أَخي لن تنال العِلم إِلّا بِسِتّة سَأُنبيك عن تَفصيلها ببَيانِ ذَكاء وَحِرص واجتِهاد وَبُلغَة وَصُحبَة أُستاذ وَطولُ زَمان

Yang artinya: Syarat mendapatkan ilmu itu ada enam. (Yakni) cerdas (sehat akal), rakus yaitu rakus dalam menyerap ilmu-ilmu, bersungguh-sungguh, cukupnya modal (harta, kemampuan, dan usaha yang keras), guru yang mengajarkan, dan waktu yang lama.

Di dalam dunia pendidikan, keenam elemen diatas wajib dimiliki para pelajar. agar segala ilmu yang dipelajari santri tidak hanya ilmu instan yang dikhawatirkan berujung pada keangkuhan akan ilmunya dan merasa sudah paling bisa dalam segalanya.

Pada kesempatan kali ini pribadi sedikit menggaris bawahi kaitannya dengan  bahwasanya salah satu dari enam eleman diatas menuntut ilmu harus dengan bulghoh(harta yang cukup, uang, bekal dll) 

Bekal di sini berkaitan dengan harta yang akan dikeluarkan oleh para pencari ilmu. Pada zaman dahulu para ulama rela mengorbankan harta benda dalam mencari ilmu. Bahkan ada yang menjual bajunya. Bahkan Imam Malik menjual atap rumahnya yang dari kayu.

Sedikit cerita dari bertukar cerita kami berkaiatan yang tidak jauh dari prihal pengorbanan dalam menuntut ilmu yaitu akan produktif dalam mengelola beasiswa dari pemerintah yang pada intinya beasiswa itu tidak serta merta dalam pemakaiannya kita jadikan ia sebagai hadiah untuk diri sendiri karena sudah berjuang  melawan diri sendiri dalam tantangan belajar, disaat yang sama bisa dipakai untuk menyisihkan kebutuhan atau hal-hal yang tidak terduga kaitannya dengan musibah dan lain sebagainnya, maka adapun biaya atau bekal yang murni dari diri kita akan terus tersalurkan dan kita sisihkan untuk ilmu itu sendiri hingga harta dan kecukupan kita akan jauh lebih berkah karena di anggarkan dalam rangka menghidupkan ilmu-ilmu ulama kita untuk kelangsungan pendidikan, maka bagi kami ini adalah suatu pola pikir yang harus berlajut dan dikembangkan dikemudian hari dari generasi ke generasi.

Pada akhirnya kita mempunyai motivasi tersendiri dalam meningkatkan diri baik dari akademik maupun non akademik, menganggap segalanya adalah bagian dari proses  menemukan jati diri untuk kebaikan bersama kita nanti. 

Semoga bermanfaat wallahu'alam.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave A Comment...